Kamis, 14 April 2016

Kemajuan Peradaban Islam di Wilayah Tabriz, Delhi, dan Sarai Baru (dekat Moscow)


Kemajuan Peradaban Islam
di Wilayah Tabriz, Delhi, dan Sarai Baru (dekat Moscow)

Peradaban islam telah memberikan berbagai sumbangan besar pada dunia. Ia telah memberikan pengaruh besar dan kemajuan, baik itu dalam bidang politik, kepemerintahan, undang-undang hukum, ilmu pengetahuan, dan pembangunan gedung-gedung indah di berbagai negara. Bahkan pada periode pertengahan muncul tiga kerajaan besar Islam yang mewakili tiga kawasan budaya, yaitu Kerajaan Usmani di Turki, Kerajaan Safawi di Persia, dan Kerajaan Mughal di India. Beberapa wilayah yang mendapatkan dampak dari kemajuan peradaban Islam diantaranya adalah wilayah Tabriz, Delhi, dan Sarai Baru (dekat Moscow).
Wilayah Tabriz, Delhi, dan Sarai Baru (dekat Moscow) menjadi saksi atas perkembangan dan kemajuan peradaban, serta saksi perjuangan dari berbagai dinasti dan penguasa yang menaklukkannya. Kehancuran yang ditimbulkan para penakluknya ataupun kemajuan peradaban yang telah diciptakan menjadikan kota-kota ini menjadi kota terbesar di wilayahnya masing-masing. Berbagai karya-karya peradaban terdahulu masih meninggalkan jejak di kota-kota tersebut dan masih bisa dinikmati sampai saat ini.
Meskipun sebelumnya peradaban Islam sempat memudar dan mengalami kemunduran yang disebabkan oleh penyerbuan bangsa Mongol, namun para penguasa muslim yang sempat berkuasa di dinasti-dinasti yang muncul pada Abad Pertengahan telah memberikan kembali harapan.  Mereka mampu berdiri dan menegakkan lagi ajaran-ajaran Islam serta membangun kembali kemajuan peradaban Islam. Makalah ini akan menguraikan tentang kemajuan peradaban Islam yang terdapat di wilayah Tabriz, Delhi, dan Sarai Baru (dekat Moscow) seputar bentuk-bentuk karya yang dihasilkannya dalam berbagai bidang, seperti pemerintahan, tata kota dan arsitektur. Masing-masing wilayah tersebut adalah kota-kota besar dan masyhur dalam periode pertengahan bahkan sampai saat ini.



B.     Pembahasan
1.      Tabriz
Tabriz merupakan kota yang terletak di Iran bagian barat laut. Ia termasuk salah satu kota terbesar Iran dengan jumlah penduduknya yang lebih dari satu setengah juta jiwa. Pada Abad III M dan di masa Dinasti Ilkhan (1256-1353 M) kota Tabirz merupakan ibu kota Azarbaijan, ia dijadikan sebagai pusat kekuasaan oleh Dinasti Ilkhan. Tabriz dikenal sebagai kota yang makmur dan paling indah pada Abad Pertengahan. Pada saat itu Tabriz dihuni oleh lebih dari satu juta penduduk. Banyak orang yang mengunjungi kota tersebut, hingga kota ini dinilai sebagai kota yang paling padat di dunia. Para seniman dan filusuf dari berbagai penjuru dunia juga ikut berkunjung ke kota ini. Sehingga penerimaan pajak dari kota ini melebihi pajak tahunan yang didapatkan raja Perancis.[1]
Sebelum Tabirz menjadi sebuah ibu kota, ia telah dikenal dengan kesuburan tanahnya. Negara Iran  menjadi salah satu jalan utama jalur perdagangan yang menghubungkan antara negara-negara Eropa dan Timur Tengah. Sebelum masuknya Islam dan adanya penaklukkan di wilayah Iran, berbagai aspek seperti kemanan, perdagangan, penduduknya, pemukiman, pembangunan kota tidak tumbuh dengan baik. Ia hanya merupakan pemukiman dusun-dusun kecil dan perkampungan petani dalam kompleks pertanian yang sederhana yang disela-selai dengan sejumlah istana feodal.[2]
Pada masa awal kepemimpinan Dinasti Ilkhan dari masa Hulagu Khan sampai Baydu, kecuali Ahmad Teguder, seluruh penguasa Dinasti Ilkhan adalah non-Muslim. Pada periode tersebut, tidak ada perkembangan yang berarti bagi masyarakat Muslim, khususnya yang menyangkut perkembangan Islam dan peradabannya, karena kurangnya perhatian yang diberikan para penguasa tersebut terhadap Islam.[3] Namun pada masa raja-raja Dinasti Ilkhan yang telah memeluk Islam, memberikan perhatian besar terhadap perkembangan peradaban Islam, hingga kemajuannya pun mulai tampak di wilayah Tabriz. Mereka telah mewariskan khazanah peninggalan peradaban yang bermanfaat bagi masyarakat Islam.[4] 
Pada masa kekuasaan Ghazan Khan, Tabriz mencapai puncak kejayaannya dan menjadi kota terpenting. Ghazan Khan merupakan penguasa ke VII Dinasti Ilkhan. Ia seorang pemimpin yang memperhatikan perkembangan peradaban, dan karena kecintaannya terhadap kesenian, terutama seni arsitektur dan ilmu pengetahuan, seperti dalam bidang astronomi, kimia, mineralogi, metalurgi, dan botani, telah membuatnya memberikan banyak kontribusi. Ia banyak membangun infrastruktur keagamaan dan pendidikan, seperti menyediakan biara untuk para darwis, membangun perguruan tinggi untuk mazhab Syafi’i dan Hanafi, sebuah perpustakaan, observatium, dan gedung-gedung umum lainnya. Kota Tabirz telah menjadi pusat bagi sekolah seni lukis dan seni ilustrasi yang sangat pesat pada saat itu dan juga menjadi kota bagi pusat lukisan-lukisan Kerajaan Ilkhan.[5]
Ghazan telah mengubah total keamanan di kota Tabriz demi kesejahteraan rakyatnya. Ia mendirikan kepemerintahannya berdasarkan syari’at Islam dan dalam berbagai aspek kehidupan. Tabriz menjadi tempat pengembangan cocok tanam. Berbagai jenis bibit-bibit lokal dan tunas-tunas buah didatangkan dari China dan India untuk ditanam di Tabirz.  Berbagai eksperimen dalam pencocokan tanaman di lakukan di kota ini. Ghazan telah menghidupkan kembali roda pertanian yang sebelumnya terhenti karena para petaninya yang tidak lagi menggarap sawahnya disebabkan pajak yang tinggi. Pada masa kepemerintahan Ghazan para petani kembai bersemangat untuk bertani karena dibebaskan pajak serta mendapatkan bantuan irigasi dari pemerintah.[6]
Sebagian orientalis menyebutkan, Ghazan termasuk seorang pemimpin muslim radikal, ia menyingkirkan agama lain dan memaksa mereka untuk masuk Islam. Hingga pada akhirnya membuat adat lama bangsa Mongol dibungkam dan para rahib Budha diusir dari Istana di wilayah ibu kota Tabriz.[7]  Selain Ghazan, ada Rhasid al-Din yang merupakan perdana menteri yang juga penulis sejarah bangsa Mongol pada masa kepemerintahan Ghazan, ia turut serta memberikan kontribusinya.  Rhasid al-Din telah memberikan kemajuan di kota Tabriz dengan memenuhi kebutuhan obat-obatan dan medis dari India, membentuk ekspedisi militer ke Kabul, membangun banyak vila, yayasan amal, dan membangun pemukiman yang dikhususkan bagi sarjana.[8]
Pada masa kepemerintahan Dinasti Timuriah di bawah kepemimpinan Timur Lang, berbagai komoditas dari berbagai negara seperti Arab, Afrika, dan Eropa disuplay ke Tabriz. Ia telah berusaha untuk meningkatkan kegiatan perdagangan dan industri dengan membuka rute-rute perdagangan yang baru antara India dan Persia Timur. Sebagai seorang Muslim, ia juga memperhatikan pengembangan Islam, ia mengembangkan “seni Timur” dan juga membangun-bangunan masjid.
2.      Delhi
Delhi atau yang sekarang lebih dikenal dengan New Delhi adalah ibu kota dari India. Ia menjadi salah satu rumah bagi Muslim India. Kota ini terletak di pinggir Sungai Jamuna. Delhi adalah ibu kota kerajaan-kerajaan Islam di India sejak tahun 608 H/1216 M sampai kerajaan Mughal runtuh oleh Inggris tahun 1858. Namun beberapa kali Delhi sempat tidak lagi menjadi ibu kota ketika ibu kota India dipindahkan ke Daulatabad, Agra, dan Lahore dalam waktu yang tidak begitu lama.[9]
Delhi memiliki kepercayaan yang terbagi menjadi dua golongan besar sebelum masuknya Islam. Dravida agama yang dipercayai secara abstrak, sedangkan Aria agama yan dipercayai secara nyata. Bangsa Aria memiliki kepercayaan yang lebih kuat dan membuat bangsa Dravida ikut mempercayai Aria. Kemudian kepercayaan ini pun berkembang menjadi agama Brahmana (Hindu) yang melahirkan adanya kasta-kasta, seperti kasta Brahmana, kasta Ksatriya, kasta Waisa, dan kasta Sudra.[10] Delhi yang merupakan ibu kota India teelah menjadi salah satu tempat yang dijadikan sebagai jalur perdagangan di kawasan Asia Selatan. Sebelum masuknya Islam, kondisi sosial dan politik di India sedang rapuh karena terjadinya penindasan kaum kasta Brahmana terhadap kasta yang lebih rendah dan orang Budha, serta adanya perebutan kekuasaan di antara para raja Hindu.[11] 

Delhi merupakan wilayah yang besar dan memiliki banyak bangunan yang masyhur. Ia termasuk kota kuno yang dibangun oleh orang-orang kafir. Sebelum masuknya Islam ke dalam wilayah tersebut, ia berada di bawah kekuasaan keturunan Johan Rajput. Kota ini ditaklukkan pada tahun 584 H. Kota Delhi juga pernah ditaklukkan oleh Quthbuddin Aibak yang diberi gelar “salar” yang berarti panglima tentara di bawah perintah mamluk Sultan Syihabuddin Muhammad bin Sinam Al-Ghauri, raja Ghazni dan Khurasan.[12] Setelah Quthbuddin wafat, Sultan Syamsuddin Altamasy menjadi raja pertama yang menguasai daerah Delhi. Pembaiatan Syamsuddin Lalmisy sebagai raja dilakukan secara terbuka oleh masyarakat juga para fuqaha. Ia memerintah selama 20 tahun, dan dikenal sebagai raja yang adil dan saleh, serta memiliki kemuliaan.[13]
Banyak pembangunan yang didirikan para penguasa di India pada masa dinasti Islam di India dan menjadikan kota Delhi sebagai ibu kotanya, seakan mereka berlomba-lomba untuk membangun dan memperindah bangunan masjid, istana, benteng, madrasah, dan makam. Tidak hanya makam para penguasanya, melainkan juga makam-makam para wali. 
Beberapa bangunan fenomenal yang terdapat di Delhi diantaranya adalah: pagar yang mengelilingi kota Delhi yang didirikan Muhammad Syah yang merupakan raja india, bisa dibilang pagar tersebut tidak ada tandingannya di dunia. Ketebalan temboknya saja mencapai 11 hasta.  Di dalam tembok itu terdapat rumah-rumah para penjaga pintu, selain itu terdapat juga gudang makanan yang disebut dengan Anbarat, gudang perlengkapan, gudang senjata, dan peledak. [14]
Bangunan lain yang fenomenal di Delhi adalah Masjid Jami’yang pada awalnya adalah dukhanah atau tempat patung, namun setelah ditaklukkan, tempat itu digantikan dengan bangunan masjid. Masjid Jami’ Delhi memiliki halaman yang sangat luas. Dinding, atap, lantainya terbuat dari batu putih yang dipahat dengan begitu canggih, sedangkan di bagian luarnya dilapisi dengan timah hitam yang kuat. Tidak ada bahan kayu sedikit pun dalam bangunan tersebut. Ia memiliki 13 kubah dan mimbar yang juga terbuat dari batu, serta terdapat empat teras di dalam masjidnya.[15]
Namun setelah Delhi dihancurkan oleh tentara Timur Lenk, banyak bangunan mewah dan indah telah lenyap. Kekuasaan para raja yang berkedudukan di Delhi menurun tajam, dan saat itulah dinasti Lodi menjadikan kota Agra sebagai ibu kota. Hingga akhirnya Delhi menjadi kota yang terabaikan. Kemudian pada masa kekuasaan Babur, raja Mughal pertama, merebut Delhi dari tangan dinasti Lodi. Delhi baru dijadikan sebagai ibu Kota kembali oleh Kerajaan Mughal pada masa Humayun (1530-1556). Dan pada akhirnya bangunan kota Delhi yang tersisa dan yang dapat disaksikan sekarang ini hanyalah yang dibangun oleh Kerajaan Mughol saja.[16]
  
3.      Sarai Baru
Pada masa kekuasaan Dinasti Golden Hordé, Batu membangun sebuah kota yang menarik dan indah, terletak di sebelah barat sungai induk Volga di  tepi Akhluba, ia menamainya dengan Sarai. Jaraknya sekitar 65 mil sebelah timur laut kota modern, Austrakhan. Istana yang dibangun di kota  tersebut semuanya dilapisi dengan warna emas. Sarai Baru dibangun pada abad XIII M pada masa pemerintahan Berke, yang merupakan saudara Batu. Sarai Baru merupakan kota yang dijadikan sebagai pusat negara pada masa kekuasaan Dinasti Kipcak/ Dinasti Golden Hordé. Kota tersebut merupakan saksi perjuangan dan perkembangan Dinasti Golden Hordé. Sarai Baru juga dikenal sebagai pusat peradaban dunia Islam pasca kehancuran Baghdad oleh Hulagu Khan, ia dikenal dengan the Second Baghdad.[17]

Berke yang sangat mencintai Islam, berupaya untuk membangun pemerintahannya berdasarkan syari’at Islam. Oleh karena itu, Berke mengganti Yassa, UU Mongol yang dibuat oleh Chengis Khan dengan syari’at Islam. Selain itu, untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang sangat didorong Islam, Berke banyak membangun masjid, madrasah dan juga monument-monument indah.Golden Horde dengan Sarai Baru sebagai ibukotanya ini kemudian berkembang pesat.
Sepeninggal Berke yang paling menorehkan sejarah atas kejayaan Islam adalah Uzbeg Khan yang naik tahta di Sarai Baru, ia juga berhasil menjadikan orang-orang mongol menjadi Muslim termasuk keturunannya.[18] Pada masa Uzbeg Khan, administrasi kenegaraan ditetapkan sesuai dengan syari’at Islam. Kesenian dan sastra pada masa Uzbeg mencapai kemajuan sangat tinggi. Perdagangan pun juga maju dengan sangat pesat yang ditandai dengan banyaknya pedagang dari Cina yang masuk melewati Laut Baltik. Tingginya peradaban di Sarai Baru ini diungkapkan oleh Ibnu Batutah dalam kitabnya, Rihlah Ibn Batutah yang merekam kesempurnaan Dinasti Golden Hordé di Sarai Baru, bahkan Uzbeg Khan dijuluki sebagai satu di antara tujuh raja besar dunia.[19]
Setelah wafatnya Uzbeg Khan, keturunannya sempat menggantikan kepemimpinannya, mereka adalah Tini Beg dan Jani Beg. Tini Beg hanya berkuasa dalam waktu satu tahun, ia dilengserkan dari tahta kerajaan karena faktor perpindahan agama yang dilakukannya. Sedangkan Jani Beg dalam kepemimpinannya sempat melakukan ekpsansi namun tidak sepenuhnya berhasil. Kemudian Beg kembali ke Sarai Baru dan meninggal dikarenakan sakit yang dideritanya akibat terkena serangan wabah Pes yang menjalar secara nasional.
Setelah kematian Jani Beg, konflik dalam tubuh dinasti ini pun muncul dan terjadi perebutan kekuasaan, hingga perang saudara di istana Sarai Baru pun tak terelakkan. Kemudian muncullah penguasa baru yaitu Mamai yang berkuasa pada tahun 1361-1380 M dan menduduki kota Sarai Baru. Setelah itu muncul Tokhtamis yang merupakan saudara Batu (keturunan Wardah) menjadi penguasa di Sarai Baru dengan bantuan Timur dalam mengalahkan Mamai. Namun karena penghianatan yang dilakukan Tokhtamis terhadap Timur, menjadikan Timur geram dan mengutus salah seorang dari kalangan GH untuk memata-matai dan menjadi boneka untuknya di Sarai Baru.[20]
Tokhtamis pun menyerang Timûr Lang untuk merebut kembali ibu kotanya yang telah direbut Timur. Ia menyerang Shirvan, menyebabkan serangan balasan dari Timûr tidak terelakan.  Tentara  Golden  Hordé  berhadapan  dengan  pasukan  Timûr  pada  tahun  1395  di Terek/ Terekh di mana dalam peperangan  tersebut  tentara Tokhtamis  kalah telak. Tentara Timûr masuk ke Saraī Baru, menciptakan kerusakan dan pembunuhan secara brutal, menyebabkan  selama dua abad terakhir khazanah peradaban yang dibangun dan dipelihara oleh Golden Hordé di Saraī Baru menjadi hancur total. Inilah tinta hitam dalam sejarah Islam yang mencoreng umat Islam. Karena umat Islamlah (Timûr Lâng) kota tersebut menjadi hancur.[21]
Dengan kelemahan yang terjadi dalam tubuh Dinasti Golden Hordé, maka para  Duke dari Moscow dan Lithuania mengambil kesempatan dan menyerang bertubi-tubi untuk melumpuhkan kekuatan Islam. Akhirnya pada tahun 1502 Golden Hordé yang lemah pun ditaklukkan oleh Rusia dan riwayat suatu kekuatan  dan kejayaan  Islam di Rusia pun ikut terhapus dan hilang. Jatuhnya kota Saraī Baru pada tahun  1395, adalah  sebuah  tragedi  yang sama seperti jatuhnya Baghdad atau jatuhnya Granada tahun 1492 M. Selanjutnya Golden Hordé ditaklukkan oleh Rusia untuk sealamanya hingga sampai saat ini juga masih ada di bawah kekuasaan Rusia.[22]Di dalam wikipedia dijelaskan bahwa Sarai Baru saat ini letaknya berada di 300km dari Astrakhan. Setelah kehancuran Sarai Baru, Rusia telah menjadikan Tsaritsyn (sekarang Volgograd) untuk mengontrol wilayahnya.




Daftar Pustaka
Dr. H. Sulasman, M. Hum. Dan Suparman, M.Ag. 2013. Sejarah Islam di Asia & Eropa:
Dari Masa Klasik Hingga Modern. Bandung: CV Pustaka Setia.
Esposito, L Jhon. 1987. Islam In Asia, Religion, Politics, and Society. United States of
America: Oxford University Press.
Bin Bathuthah, bin Abdullah Muhammad. 2012.  Rihlah Ibnu Bathuthah: Memoar
Perjalanan Keliling Dunia di Abad Pertengahan, Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar.
Ading Kusdiana. 2013. Sejarah & Kebudayaan Islam: Periode Pertengahan, Bandung: CV Pustaka Setia.
Karim, M. Abdul. 2014. Bulan Sabit di Gurun Gobi: Sejarah Dinasti Mongol-Islam di Asia Tengah. Yogyakarta: SUKA Press.
Yatim, Badri. 1995. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta Utara: PT Raja Grafindo Persada.
Lapidus, Ira.M. 1997. Sejarah Sosial Umat Islam. Jakarta: RajaGravindo Persada.




[1]M. Abdul Karim, Bulan Sabit di Gurun Gobi: Sejarah Dinasti Mongol-Islam di Asia Tengah (Yogyakarta: SUKA Press, 2014), hlm. 163.
[2] Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 70-71.
[3] Ading Kusdiana, Sejarah & Kebudayaan Islam: Periode Pertengahan (Bandung: CV Pustaka Setia, 2013), hlm.83-84.
[4] Ading, Sejarah, hlm. 57.
[5] Lapidus, Sejarah, hlm. 431-432.
[6] Karim, Bulan Sabit, hlm. 151-152
[7] Ibid., 93
[8] Ibid.,159-160
[9] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta Utara: PT Raja Grafindo Persada,1995), hlm. 289.
[10] M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam (Yogyakarta: Bagaskara, 2014), hlm. 255.
[11] Karim, Sejarah, hlm. 255
[12] Muhammad bin Abdullah Bin Bathuthah, Rihlah Ibnu Bathuthah: Memoar Perjalanan Keliling Dunia di Abad Pertengahan (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2012), hlm. 495-496.
[13] Bathuthah, Rihlah, hlm. 497.
[14] Ibid., hlm. 488-489.
[15] Ibid., hlm. 490.
[16] Yatim, Sejarah, hlm. 291
[17] Karim, Bulan Sabit, hlm. 79
[18] Ibid., hlm. 125-126.
[19] Bathuthah, Rihlah, hlm. 377.
[20] Karim, Bulan Sabit, hlm. 127-128.
[21] Ibid., hlm. 129
[22] Karim, Bulan Sabit, hlm. 130.

HOAKS SEBAGAI TANDA PENYAKIT JIWA DAN AKAL

HOAKS SEBAGAI TANDA PENYAKIT JIWA DAN AKAL Era teknologi menawarkan efesiensi kerja yang tidak terikat waktu, jarak dan tempat. Sifat...